Referensi News
Musi Rawas – Di balik selembar piagam yang tampak sederhana dan penuh kebanggaan, tersembunyi alur birokrasi yang kerap menguras anggaran. Mulai dari perjalanan dinas, rapat koordinasi, hingga publikasi media. Apakah biaya yang dikeluarkan sepadan dengan manfaat yang dirasakan masyarakat?
Piagam “Predikat Kepatuhan Standar Pelayanan Publik Tahun 2024” yang diberikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Musi Rawas oleh Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Selatan, sekilas tampak sebagai bentuk apresiasi sederhana. Namun di balik simbol kehormatan itu, tersimpan potensi pengeluaran yang tidak kecil dan patut dicermati publik.
Hasil penelusuran dan analisis referensinews.id terhadap belanja kegiatan serupa, menunjukkan bahwa untuk “memperoleh” piagam semacam ini, biasanya terdapat rangkaian kegiatan yang hampir selalu mengiringinya:
Perjalanan dinas pejabat ke luar kota mencakup tiket, transportasi darat, akomodasi hotel, dan uang harian. Rapat koordinasi teknis dan kunjungan konsultatif ke instansi pemberi penghargaan, seringkali disertai pengawalan berjenjang. Pengadaan atribut visual seperti spanduk, baliho ucapan selamat, hingga plakat duplikat. Publikasi media baik untuk pemberitaan maupun advertorial ucapan terima kasih dan testimoni pimpinan daerah.
Berdasarkan estimasi konservatif dari belanja kegiatan serupa, total biaya untuk “mengiringi” satu penghargaan semacam ini bisa mencapai antara Rp75 juta hingga Rp150 juta. Yang menjadi sorotan, besar kemungkinan seluruh biaya tersebut dibebankan ke APBD Kabupaten melalui program kegiatan rutin OPD, termasuk pos belanja perjalanan dinas dan publikasi.
Bandingkan dengan kebutuhan nyata sektor pendidikan di daerah: Sekolah rusak dan kekurangan ruang belajar, Minimnya alat praktik siswa dan sarana penunjang, Keterbatasan guru produktif dan guru honorer yang belum sejahtera dan Informasi layanan yang tetap sulit diakses oleh masyarakat
Di tengah realitas pendidikan seperti ini, publik pantas mempertanyakan apakah perburuan piagam benar-benar prioritas?
Apakah penghargaan simbolis pantas menggeser perhatian dari masalah riil yang dihadapi guru, siswa, dan orang tua setiap harinya?
Lebih dari itu, piagam penghargaan yang seharusnya menjadi bentuk pengakuan atas pelayanan publik yang objektif dan berorientasi pada masyarakat, justru dikhawatirkan hanya menjadi agenda pencitraan yang berbiaya tinggi.
Penutup:
Jika transparansi dan akuntabilitas menjadi tolok ukur penghargaan, maka publik berhak tahu berapa biaya yang dikeluarkan dan apa manfaat nyatanya. Karena pada akhirnya, setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah berasal dari uang rakyat — bukan untuk kemewahan birokrasi, melainkan untuk perbaikan layanan yang sesungguhnya.
Disclaimer
Artikel ini merupakan hasil investigasi yang berdasarkan data dan informasi yang tersedia. Opini dan analisis yang disajikan adalah pandangan redaksi. Pihak terkait berhak memberikan klarifikasi atau hak jawab yang akan dipublikasikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Tidak ada komentar