Referensinews.id – Pemerintah Kabupaten Musi Rawas pernah lantang menggaungkan rencana pembangunan stadion olahraga bertaraf internasional yang diklaim dibiayai melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Bukit Asam, senilai Rp 9,5 miliar. Namun, hingga kini, realisasi janji tersebut masih gelap.
Stadion itu direncanakan berdiri megah di kawasan Agropolitan Center, Kecamatan Muara Beliti, di atas lahan hibah seluas kurang lebih 60 hektar yang telah disiapkan pemerintah daerah sejak lama. Namun alih-alih dana CSR terealisasi, justru mencuat penggunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 4,7 miliar.
Pada Juli 2019, melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), Pemkab Musi Rawas menganggarkan pengadaan bangunan gedung tempat olahraga – yang disebut mencakup pembangunan lapangan sepak bola dan sarana pendukungnya – senilai Rp 4,7 miliar. Proyek ini kemudian dimenangkan oleh CV. Alki Karya setelah melalui proses tender ulang, karena sebelumnya 18 perusahaan peserta dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi.
Namun, yang menjadi pertanyaan publik: kemana arah sebenarnya dana CSR Rp 9,5 miliar yang pernah diumbar? Jika dana tersebut belum masuk, mengapa pemerintah buru-buru mengalokasikan APBD? Adakah tumpang tindih anggaran atau malah permainan nomenklatur proyek?
Apalagi, hingga kini tidak ada penjelasan gamblang dari Pemkab Musi Rawas terkait peruntukan pasti dana Rp 4,7 miliar. Apakah untuk tahap awal pembangunan stadion, seperti land clearing dan pematangan lahan, atau justru sudah termasuk pembangunan struktur utama?
Transparansi menjadi tuntutan mutlak. Publik berhak tahu: jika pembangunan dilakukan bertahap, maka seyogianya ada roadmap yang jelas dan terpublikasi. Bila tidak, penggunaan dana APBD ini bisa memantik dugaan pemborosan, bahkan potensi penyimpangan.
Tak hanya itu, mencuat pula dugaan keterlibatan rangkap jabatan seorang oknum anggota Kelompok Kerja (Pokja) ULP yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Jika benar, maka hal ini sangat rawan konflik kepentingan, dan bisa melanggar prinsip tata kelola proyek yang baik.
Pertanyaan mendesak: Apakah dualisme peran ini dibenarkan menurut regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah? Jika tidak, publik berhak mendesak aparat pengawas internal maupun penegak hukum untuk turun tangan.
Janji stadion internasional boleh menggiurkan, namun tanpa transparansi dan akuntabilitas, proyek ini bisa berujung pada bangunan mangkrak – atau lebih buruk lagi, skandal anggaran.
Tidak ada komentar