Temuan Mark-Up di Dinas PUPR Muratara Sebesar 5,2 Miliar Rupiah: Sebuah Peringatan untuk Pengawasan yang Lebih Ketat

waktu baca 3 menit
Senin, 12 Agu 2019 10:22 25 referensi

Referensinews.id – Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) pada tahun 2018 mencatatkan anggaran belanja modal sebesar 162 miliar rupiah, dengan total realisasi mencapai 95,53 persen. Namun, terungkap adanya temuan mencengangkan terkait mark-up yang melibatkan 10 paket pekerjaan, yang mengakibatkan kelebihan pembayaran hingga 5,2 miliar rupiah, yang diungkapkan pada Senin (12/8/2019).

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan mengungkapkan bahwa Dinas PUPR Muratara tidak menjalankan prosedur pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Meskipun 10 paket pekerjaan senilai sekitar 72 miliar rupiah telah dibayar penuh, hasil audit dokumen dan fisik menunjukkan kekurangan volume serta kesalahan penghitungan harga satuan pada beberapa item pekerjaan. Temuan ini berujung pada kelebihan pembayaran sebesar 5,2 miliar rupiah yang harus segera dikembalikan ke kas daerah.

BPK juga mencatat kurangnya pengawasan dan pengendalian oleh Kepala Dinas PUPR Muratara dalam pelaksanaan pekerjaan fisik, serta ketidakakuratan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Kritik Terhadap Pengawasan Intern

Taupik Gonda, seorang pengkritik tajam, menyatakan kekecewaannya terhadap temuan mark-up yang mencatatkan kerugian negara sebesar 5,2 miliar rupiah. Ia mengkritisi kinerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Muratara yang seharusnya bertugas mengawasi dan mencegah praktek penyimpangan. “APIP terlihat gagal mendeteksi modus-modus penyelewengan yang sering dilakukan oleh oknum pejabat dan rekanan yang nakal,” ujar Taupik dengan nada kecewa.

Menurutnya, APIP tampak menjadi alat yang tidak berdaya dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal. Ia menegaskan bahwa kelebihan pembayaran ini adalah bentuk kerugian negara akibat fraud yang harus diproses secara hukum.

Potensi Kerugian Negara dan Dampaknya pada Penerimaan Daerah

Lebih jauh, Taupik menyatakan bahwa mark-up ini berpotensi mengurangi penerimaan daerah, karena dana yang seharusnya menjadi hak negara atau daerah tidak disetorkan ke kas daerah. Hal ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku. “Kerugian negara adalah akibat perbuatan melawan hukum, baik yang dilakukan individu, perusahaan, maupun pejabat negara,” ujar Taupik.

Pemeriksaan oleh BPK menunjukkan bahwa dana yang kelebihan dibayar ini harus segera dikembalikan ke kas daerah untuk menghindari kerugian lebih lanjut. Taupik juga menambahkan, meskipun BPK hanya memiliki peran dalam menetapkan ganti rugi sebagai sanksi administrasi, penegak hukumlah yang seharusnya mengungkap dan memberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran ini.

Seruan untuk Pengawasan Masyarakat

Di akhir komentarnya, Taupik mengajak masyarakat untuk lebih proaktif dalam mengawasi dan mengontrol kegiatan pemerintah. Ia menekankan bahwa kritik yang konstruktif sangat diperlukan untuk mendorong aparatur pemerintah agar lebih bertanggung jawab dan transparan demi kesejahteraan rakyat. “Temuan ini harus menjadi pelajaran penting dan efek jera bagi oknum-oknum pejabat serta pihak rekanan yang terlibat dalam penyimpangan,” tandasnya.

Temuan ini bukan hanya sekadar catatan dalam laporan pemeriksaan, tetapi sebuah peringatan untuk pengawasan yang lebih ketat dan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik.

Perlu diketahui juga beberapa kasus saat ini menumpuk menjadi PR pihak Kejaksaan Negeri. Seperti kasus SPJ piktif 929, kasus Humas Muratara, kasus RSUD Rupit, Kasus IPAL Puskesmas, kasus Umroh, kasus RSUD Siti Aisyah dan banyak lagi kasus lainnya untuk segera di tuntaskan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA