Bongkar Pasang Gedung Walikota Lubuklinggau Disorot Tajam: Pemborosan APBD atau Maladministrasi?

waktu baca 3 menit
Rabu, 10 Jul 2019 10:47 226 referensi

Referensi News

Lubuklinggau, Rabu 10/7/2019 — Pembangunan Gedung Kantor Walikota Lubuklinggau yang disebut-sebut sebagai simbol kemajuan kota, justru menjadi sorotan publik akibat adanya aktivitas bongkar pasang bangunan yang memicu dugaan pemborosan anggaran. Proyek yang menelan dana miliaran rupiah dari APBD ini kini berada di bawah bayang-bayang kritik tajam dari masyarakat dan aktivis antikorupsi.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Lubuklinggau, M. Asril, mengklaim bahwa bongkar pasang terjadi karena adanya review terhadap Detail Engineering Design (DED). Namun pernyataan ini justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

“Kalau DED direvisi saat pembangunan sudah berjalan, berarti ada yang tidak beres dalam perencanaan awal. Kenapa bisa dilaksanakan jika belum matang? Ini sudah jelas-jelas merugikan anggaran daerah,” ungkap Febri RB, aktivis LSM anti korupsi yang gencar mengawal isu pembangunan.

Uang Rakyat, Bukan Uang Pribadi Menurut Febri, masyarakat berhak untuk tahu dan mengkritisi proyek ini karena sumber dananya berasal dari uang rakyat. Ia menegaskan, setiap rupiah yang dikelola oleh pemerintah wajib dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik.

“Kalau ini bangun pakai duit pribadi, masyarakat tidak akan ambil peduli. Tapi ini uang rakyat. Satu rupiah pun harus jelas ke mana arahnya,” tegasnya.

Indikasi Pemborosan Nyata Bongkar pasang dalam dunia konstruksi bukan hal remeh. Selain menambah biaya, hal ini menunjukkan adanya potensi kesalahan serius dalam perencanaan proyek, yang seharusnya bisa dicegah sejak awal.

“Analisis kami sederhana. Kalau ada review DED di tengah jalan, berarti perencanaan awalnya salah atau tidak matang. Kalau sudah tahu ada tim konsultan dan pengawas, kenapa ini bisa terjadi?” sambung Febri.

Febri mendesak agar pihak-pihak terkait, mulai dari kontraktor, konsultan, hingga pejabat teknis, dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang sudah terjadi. Ia juga meminta TP4D dan APIP segera turun tangan melakukan investigasi menyeluruh.

Pemerintah Kota Lubuklinggau hingga kini belum memberikan penjelasan secara rinci soal seperti apa bentuk “review DED” yang dimaksud. Tidak ada data publik, dokumen perubahan desain, atau justifikasi teknis yang diumumkan secara terbuka ke masyarakat.

Padahal, dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang, transparansi bukan lagi pilihan—melainkan kewajiban.

Siapa Bertanggung Jawab?  jika kesalahan berada pada tahap perencanaan, apakah konsultan akan dikenakan sanksi? Jika kontraktor keliru melaksanakan, apakah ada penalti? Dan yang terpenting, apakah Pemkot Lubuklinggau bersedia membuka semuanya ke publik?

Febri menyatakan, tanpa transparansi dan akuntabilitas, proyek ini hanya akan menjadi “gedung megah yang dibangun di atas kepercayaan yang runtuh”.

Catatan Redaksi Kasus pembangunan gedung Walikota Lubuklinggau harus menjadi momentum evaluasi total terhadap sistem perencanaan dan pengawasan proyek pemerintah. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi pintu masuk praktik korupsi terselubung dalam balutan “pembangunan”. (Aak)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA