Kursi Sekwan DPRD Lubuk Linggau Jadi Medan Tarung: Ketika Wakil Menyalip Ketua

waktu baca 2 menit
Senin, 9 Jun 2025 22:41 424 referensi

Oleh: Redaksi Referensinews.id

Ada yang tidak biasa di tubuh DPRD Kota Lubuklinggau. Dalam proses lelang jabatan Sekretaris DPRD (Sekwan), justru muncul dua rekomendasi yang saling bertentangan. Yang satu berasal dari Ketua DPRD, Yulian Efendi. Yang satu lagi—secara mengejutkan—dikeluarkan oleh dua Wakil Ketua DPRD, Eci Lasarie dan Hendri Juniansyah.

Alih-alih memperkuat kelembagaan, kondisi ini justru mencerminkan bentrokan kepentingan dan ambisi internal yang tidak sehat. Apakah kursi Sekwan kini telah menjadi rebutan kuasa, bukan seleksi kualifikasi?

Secara norma hukum dan tata kelola kelembagaan, Ketua DPRD adalah satu-satunya representasi formal lembaga DPRD dalam konteks administratif dan kelembagaan, kecuali ada keputusan kolektif dalam bentuk rapat pimpinan atau paripurna. Maka ketika dua wakil mengeluarkan surat tandingan tanpa pendelegasian resmi dari ketua, langkah tersebut secara normatif bisa dikategorikan sebagai penyalipan wewenang.

Ini bukan soal siapa yang lebih kuat secara politik, tapi soal etika kelembagaan dan konstitusionalitas tindakan pejabat publik.

Pemerintah Kota kini dalam posisi sulit. Jika mereka mengikuti rekomendasi Ketua DPRD, mereka menjaga hukum tetap tegak. Tapi jika mereka mengikuti rekomendasi versi Wakil Ketua, maka mereka memilih stabilitas semu—yang berisiko tinggi terhadap legitimasi pelantikan.

Masalahnya, ini bukan soal surat semata. Ini soal integritas proses seleksi terbuka. Jika eksekutif mengabaikan rekomendasi ketua, maka lelang jabatan hanya formalitas—yang menang tetap berdasarkan siapa yang paling kuat dalam jaringan politik.

Apakah ASN berprestasi dan kompeten masih punya ruang di tengah tarik-menarik kekuasaan seperti ini? Ataukah semua posisi strategis hanya akan jatuh ke tangan “titipan”?

Kita sedang menyaksikan gejala konsolidasi kekuasaan yang berbahaya, di mana norma hukum dan kelembagaan dikalahkan oleh manuver politik internal. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga mempermalukan institusi DPRD di mata konstitusi.

Jika perebutan Sekwan ini dibiarkan, maka babak selanjutnya akan lebih berbahaya: jabatan strategis lain bisa diperebutkan dengan pola yang sama. DPRD terancam menjadi lembaga yang tak lagi dijalankan atas nama rakyat, tetapi atas nama faksi. Dan ketika lembaga pengawas anggaran dan pengatur arah kebijakan daerah sudah tidak netral sejak dalam rumahnya sendiri, maka siapa lagi yang bisa dipercaya untuk menjaga kepentingan publik?

Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini penulis dan tidak selalu mencerminkan sikap redaksi Referensinews.id. Kami membuka ruang hak jawab atau klarifikasi bagi pihak-pihak yang disebutkan dalam artikel ini. Silakan kirim melalui email ke: redaksi@referensinews.id. atau kontak resmi 081379437128. Redaksi berkomitmen pada prinsip jurnalisme yang independen dan berimbang.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA