Anggaran di Inspektorat “Sejumput” tapi Menggigit Diduga untuk Dokumen Copy-Paste?

waktu baca 2 menit
Minggu, 25 Mei 2025 14:50 4 referensi

Lubuklinggau – Satu lagi potret potensi kebocoran anggaran yang patut menjadi perhatian publik dan pengawas internal daerah. Kali ini datang dari salah satu kegiatan di tubuh Inspektorat Daerah Kota Lubuklinggau. Kegiatan yang terlihat “sepele” karena hanya bernilai Rp 23.831.900,00 justru menyimpan sejumlah kejanggalan dan celah penyimpangan.

Anggaran tersebut tercatat digunakan untuk sub kegiatan “Penyusunan Dokumen Perencanaan Perangkat Daerah” dengan output yang sangat jelas: 4 dokumen perencanaan. Sepintas, tak ada yang salah. Namun jika ditelaah lebih dalam, muncul pertanyaan besar: mengapa penyusunan 4 dokumen biasa membutuhkan hampir Rp 24 juta?

Dokumen-dokumen ini sejatinya adalah kebutuhan administratif tahunan yang bersifat template dan berulang. Tak jarang, substansinya tak banyak berubah dari tahun ke tahun, hanya mengganti angka, nomenklatur, dan tanggal. Di sinilah letak masalah: jika memang hanya terjadi “modifikasi kosmetik”, maka besar kemungkinan penggunaan dana menjadi tidak efisien, bahkan berisiko menjadi pemborosan anggaran.

Lebih jauh, kegiatan ini menggunakan belanja barang dan jasa—kategori yang dalam praktiknya kerap menjadi ladang untuk menyisipkan biaya honorarium penyusun, penggandaan dokumen, konsumsi rapat, hingga sewa fasilitas. Namun karena nilai anggarannya relatif kecil, pengawasan sering kali longgar. Ini celah yang sering disebut para pengamat sebagai “zona aman untuk SPJ formalitas”.

Modus klasik pun bisa mengintai: laporan kegiatan yang rapi di atas kertas, lengkap dengan tanda tangan dan dokumentasi, namun sesungguhnya minim aktivitas nyata. Bahkan tak tertutup kemungkinan jika dokumen perencanaan yang dimaksud hanya hasil salinan dari tahun sebelumnya, disesuaikan seperlunya, lalu dibungkus seolah produk baru.

Kondisi ini mengingatkan kita bahwa kebocoran keuangan daerah tak selalu terjadi di proyek-proyek miliaran. Justru anggaran kecil dengan indikator output yang longgar, seperti hanya “jumlah dokumen”, bisa menjadi ladang empuk untuk praktik manipulatif yang sulit dibuktikan secara hukum, namun nyata merugikan publik.

Di tengah dorongan transparansi dan efisiensi keuangan publik, kegiatan-kegiatan semacam ini harus mulai mendapat sorotan. Bukan hanya dari aparat pengawasan internal pemerintah (APIP), tetapi juga dari masyarakat luas dan media. Setiap rupiah yang digunakan dari uang rakyat harus bisa dipertanggungjawabkan, tak peduli besar atau kecil.

Inspektorat sebagai garda terdepan pengawasan internal semestinya menjadi teladan dalam efisiensi anggaran dan transparansi pelaksanaan. Ketika lembaga pengawas mulai terindikasi melakukan pemborosan, maka alarm moral birokrasi harus segera dibunyikan.

Pertanyaannya sederhana: 4 dokumen perencanaan untuk hampir Rp 24 juta—apakah itu efisien? Atau justru cerminan dari sistem yang masih memberi ruang bagi praktik-praktik lama dengan baju baru?

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA