Referensinews.id — Festival Danau Rayo 2019 yang seharusnya menjadi ajang kebanggaan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), justru berubah menjadi blunder memalukan. Sejumlah peserta dan tamu undangan mengalami kelaparan lantaran tidak adanya konsumsi yang disediakan oleh panitia penyelenggara. Ironisnya, peristiwa ini terjadi dalam sebuah hajatan resmi yang dihadiri oleh tamu dari 17 kabupaten/kota.
Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka Muratara, A. Bastari Ibrahim, secara terbuka mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyebut banyak peserta Pramuka yang nyaris muntah karena menahan lapar. Sejak pukul 08.00 WIB para peserta sudah berada di lokasi, namun hingga pukul 15.00 WIB tidak ada makanan yang tersedia.
“Miris, saat ditanya ke Dinas Pariwisata katanya baru mau beli nasi. Ini menunjukkan ketidaksiapan dan ketidakprofesionalan panitia,” ujar Bastari.
Menurutnya, kejadian ini tak hanya membuat peserta lokal menderita, tapi juga menyebabkan banyak tamu dari luar daerah memilih pulang lebih awal. Bahkan, beberapa tenda kegiatan tampak kosong karena peserta mengundurkan diri akibat kelaparan.
“Bayangkan, acara sebesar ini yang dihadiri 17 kabupaten/kota justru gagal hanya karena kelalaian panitia menyediakan konsumsi. Ini mencoreng nama baik Kabupaten Muratara,” tegas Bastari.
Ia menambahkan, jika bukan karena partisipasi rombongan Pramuka Muratara, sejumlah tenda kegiatan nyaris tak berpenghuni. “Lihat saja, tenda hanya terisi 7 orang, yang lain pulang karena tidak kuat menahan lapar,” tambahnya.
Lebih mengejutkan, Kepala Dinas Pariwisata Muratara, Titin Sumartini, justru melempar tanggung jawab. Ia menyatakan bahwa kekacauan itu bukan kewenangan dinasnya, melainkan tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Undangan itu pukul 13.00 WIB, jadi tidak ada kewajiban menyediakan makan siang. Pagi itu acara DLH, siangnya baru kegiatan Dispar,” ujarnya melalui sambungan seluler.
Namun, pengakuan Titin justru menambah polemik. Ia menyebut bahwa Festival Danau Rayo memang kegiatan dari Dinas Pariwisata, tetapi konsumsi hanya disediakan untuk peserta kesenian, bukan untuk tamu dan peserta umum—termasuk Pramuka.
“Pramuka kami undang hanya untuk meramaikan, mereka punya acara sendiri,” tambah Titin.
Pernyataan ini justru menegaskan adanya miskordinasi dan minimnya empati dari penyelenggara terhadap tamu dan peserta, terutama yang masih usia sekolah. Dalam kegiatan publik berskala besar, kelalaian seperti ini bukan hanya soal logistik, tapi soal citra, profesionalitas, dan tanggung jawab moral pemerintah daerah.
Tidak ada komentar