Temuan Kejanggalan Persediaan Obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Musirawas Utara

waktu baca 3 menit
Senin, 12 Agu 2019 10:18 8 referensi

Referensinews.id – Pada 31 Desember 2018, nilai persediaan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) tercatat mencapai Rp 11 miliar. Namun, dari jumlah tersebut, persediaan fisik obat-obatan yang disimpan di gudang obat, Rumah Sakit Umum Daerah Rupit, dan Puskesmas senilai Rp 7,7 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya. Temuan ini terungkap dalam hasil audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada Senin (12/8/2019).

Berdasarkan LHP BPK, ditemukan ketidaksesuaian antara laporan persediaan yang tercatat dan kondisi fisik yang ada di lapangan. Laporan tersebut menyebutkan nilai saldo persediaan di Puskesmas Muara Kulam sebesar Rp 1,8 miliar dan di RSUD Rupit senilai Rp 6,5 miliar yang juga tidak dapat diyakini kewajarannya.

Kekacauan ini diakibatkan oleh kurangnya pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Muratara pada tahun 2018 terhadap pengelolaan dan penatausahaan persediaan di lingkungan kerjanya.

Kepala Dinas Kesehatan Muratara, Marlinda Sukri, mengaku belum mengetahui adanya audit LHP BPK tersebut. “Untuk sementara, saya belum dapat memberikan tanggapan atas temuan ini karena belum melihat laporan resmi BPK,” ujarnya.

Marlinda melanjutkan, dirinya sudah turun ke lapangan untuk mencari informasi terkait temuan ini, setelah banyak awak media yang mempertanyakan hasil temuan BPK. “Saat ini, saya sedang berada di luar daerah. Setelah saya kembali, saya akan mengecek kebenaran temuan tersebut ke Badan Keuangan Daerah (BKD),” tambahnya.

Marlinda juga mengungkapkan bahwa temuan BPK tahun 2018 terjadi pada masa kepemimpinan dr. Mahendra, sedangkan di tahun 2019, Mahendra digantikan oleh Ilyas. “Kemungkinan, Ilyas mengetahui soal temuan BPK ini. Sementara saya baru bertugas selama tiga bulan di Dinas Kesehatan Muratara, jadi saya tidak mengetahui adanya LHP BPK,” jelasnya.

Dalam laporan BPK, frasa “tidak dapat diyakini kewajarannya” menunjukkan adanya kelemahan serius dalam sistem akuntansi dan pelaporan pengelolaan pendapatan dan belanja daerah. Hal ini menjadi tanggung jawab kepala daerah terkait, sebagai akibat dari lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI).

Ketidakjelasan kewajaran persediaan ini dapat menandakan adanya kecurangan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana dalam pelaporan, yang berpotensi untuk mengelabui petugas audit. “Ini adalah bentuk kecurangan yang dapat menyebabkan kerugian daerah atau potensi kerugian daerah. Kecurangan dalam pelaporan adalah tindakan melawan hukum, baik secara sengaja maupun karena kelalaian, yang berakibat pada ketidakwajaran laporan yang disampaikan kepada auditor resmi, dalam hal ini BPK,” jelas Febri, seorang pengamat korupsi.

Menurut Febri, modus-modus korupsi yang terjadi bisa sangat bervariasi, namun semuanya berawal dari kelemahan administrasi pelaporan yang disampaikan kepada pihak yang berwenang.

Temuan ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah daerah agar lebih memperhatikan dan memperbaiki sistem administrasi dan pengelolaan anggaran, demi menghindari potensi penyalahgunaan yang merugikan daerah dan masyarakat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA