Skandal Dana Hibah Muratara: Cair Tanpa NPHD, Dugaan Korupsi Terstruktur Mengemuka

waktu baca 2 menit
Minggu, 30 Jun 2019 08:53 36 referensi

Referensinews.id – Pencairan dana hibah Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) tanpa Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) memicu keprihatinan dan kemarahan dari kalangan aktivis, LSM, serta publik yang memahami aturan tata kelola keuangan negara. Praktik yang secara terang-terangan melanggar prosedur ini diduga kuat mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan dan potensi korupsi berjamaah.

Pemberian hibah seharusnya melewati tahapan yang ketat, dimulai dari permohonan resmi, verifikasi, hingga penandatanganan NPHD antara pemerintah daerah dan penerima. Tanpa dokumen sah tersebut, segala bentuk pencairan anggaran dianggap cacat hukum dan membuka ruang lebar bagi penyimpangan.

“Ini bukan lagi sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk nyata pembangkangan terhadap hukum. Pencairan tanpa NPHD adalah bentuk dugaan korupsi terselubung yang sengaja dibiarkan,” tegas aktivis anti-korupsi, Andy Lala.

Andy menyoroti lemahnya pengawasan internal pemerintah daerah, meski sudah mengalokasikan anggaran besar untuk institusi pengawas seperti Inspektorat dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

“Apa gunanya Inspektorat? Untuk apa APIP dibayar jika pelanggaran mendasar seperti ini bisa terjadi bertahun-tahun tanpa tindakan tegas?” tanyanya retoris.

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Provinsi Sumatera Selatan terhadap APBD Muratara Tahun Anggaran 2017 mencatat, hingga pemeriksaan per 2 Mei 2018, terdapat 147 penerima hibah yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban senilai Rp3,58 miliar. Ini bukan sekadar temuan administratif—ini indikasi penyelewengan sistematis.

Andy menduga kuat modus ini telah berlangsung lama dan melibatkan aktor-aktor yang sama.

“Ini pola klasik. Penerima hibah seringkali adalah pihak-pihak yang punya afiliasi politik dengan kepala daerah. Setelah dana cair, sebagian mengalir kembali ke kantong si pemberi. Praktik seperti ini merusak integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah,” ujarnya.

Ironisnya, sudah ada regulasi yang secara tegas mengatur tata kelola hibah: Peraturan Bupati Muratara Nomor 17 Tahun 2015 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang mekanisme hibah dan bantuan sosial. Namun regulasi ini tampaknya hanya menjadi dokumen formal yang diabaikan ketika berhadapan dengan kepentingan pribadi dan kelompok.

Dalam audit BPK, sejumlah penyimpangan disebutkan mulai dari penerima fiktif, pencairan tidak tepat sasaran, keterlambatan atau bahkan ketiadaan laporan pertanggungjawaban, hingga pencatatan yang tidak tertib. Semuanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Andy mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera bertindak.

“APH harus merespons temuan ini dengan cepat. Penyelidikan harus segera dilakukan. Jika terbukti ada penyelewengan, seret pelakunya ke meja hijau. Jangan tunggu opini publik membusuk karena pembiaran,” pungkasnya.

Catatan

Hibah dari pemerintah daerah seharusnya ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan publik secara transparan, tidak terikat, dan tidak berkelanjutan. Tetapi ketika sistem dilanggar dan pengawasan dilemahkan, hibah justru menjadi alat transaksi kekuasaan dan bancakan anggaran yang mengkhianati kepercayaan rakyat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA