Dugaan Mark-up di Dinas PUPR Muratara yang Mengguncang Pemerintahan

waktu baca 2 menit
Rabu, 14 Agu 2019 10:25 11 referensi

Referensinews.id – Syarif Hidayat, Bupati Kabupaten Musirawas Utara (Muratara), mengungkapkan keresahannya terkait banyaknya pemberitaan yang mencoreng citra Pemkab Muratara. Isu yang kini mencuat adalah dugaan mark-up sebesar Rp 5,2 miliar di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Muratara, yang menyeret nama sejumlah pejabat dalam dugaan penggelembungan anggaran proyek fisik tahun 2018.

Bupati Syarif Hidayat merasa terganggu dengan pemberitaan yang terus-menerus menyudutkan Pemkab, dan memutuskan untuk mengambil langkah tegas dengan menggandeng Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuklinggau untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan kelebihan pembayaran tersebut.

Dalam sebuah pesan singkat pada Rabu (14/8/2019), Bupati Hidayat menegaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan masalah kelebihan bayar sebesar Rp 5,2 miliar kepada Kejaksaan untuk diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Sebagai informasi, Dinas PUPR Muratara pada tahun 2018 mengalokasikan anggaran belanja modal sebesar Rp 162 miliar, namun hanya terealisasi sebesar Rp 155 miliar (95,53 persen). Dari total anggaran yang terealisasi, 10 paket pekerjaan telah diselesaikan dengan anggaran sebesar Rp 72 miliar dan sudah dibayar 100 persen sesuai kontrak.

Namun, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan mengungkapkan temuan mencengangkan. Setelah dilakukan audit terhadap dokumen dan fisik proyek, BPK menemukan adanya kekurangan volume pada sejumlah pekerjaan, serta kesalahan dalam perhitungan harga satuan, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 5,2 miliar.

BPK juga mencatat adanya beberapa item pekerjaan yang tidak dikerjakan sesuai kontrak. Temuan ini, menurut BPK, jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Pemeriksaan BPK juga menyebutkan bahwa Kepala Dinas PUPR Muratara, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), tidak maksimal dalam mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pekerjaan fisik. Kelalaian ini memicu potensi kerugian negara yang harus segera dikembalikan ke kas daerah.

Ahli hukum Taufik Gonda menegaskan bahwa kelebihan bayar yang ditemukan adalah kerugian negara, yang harus dikembalikan segera. “BPK adalah auditor resmi pemerintah, kelebihan bayar termasuk kategori korupsi. Tugas BPK adalah menetapkan ganti rugi sebagai sanksi administrasi, sedangkan penegak hukum harus menemukan bukti adanya tindak pidana untuk kemudian memberikan sanksi pidana,” ujarnya dengan tegas.

Dengan adanya temuan ini, sejumlah pihak berharap agar penegakan hukum terhadap dugaan penyimpangan ini dapat dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas, untuk memastikan agar kerugian negara dapat segera dipulihkan dan pelaku penyimpangan diusut tuntas.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA