Demonstrasi FMBM di Musi Rawas: Soroti Proyek PUCKTRP dan Pembatasan Akses Jurnalis

waktu baca 2 menit
Jumat, 27 Sep 2019 07:52 18 referensi

Referensinews.id – Forum Masyarakat Beliti Menggugat (FMBM) menggelar aksi unjuk rasa di halaman Kantor Pemerintah Kabupaten Musi Rawas, Jumat (27/9/2019). Dalam aksi tersebut, peserta demo mempertanyakan kejanggalan dalam pelaksanaan proyek pembangunan siring atau drainase yang berada di bawah pengawasan Dinas PUCKTRP. Massa juga menyoroti dugaan pengalihan pekerjaan proyek secara tidak transparan.

Selain itu, FMBM juga mendesak Bupati Hendra Gunawan untuk segera mencopot Kepala Dinas PUCKTRP, Ristanto. Tuntutan ini dipicu oleh kebijakan dinas yang dinilai berlebihan dalam menerapkan sistem keamanan, khususnya dengan penempatan satuan pengamanan (security) yang dinilai menghambat kerja jurnalistik.

Dalam orasinya, Andy Lala, salah satu orator aksi, menegaskan bahwa kebijakan yang menghalangi akses wartawan ke kantor dinas adalah bentuk pembungkaman kebebasan pers.

“Pengamanan pintu masuk dinas agar diperlonggar. Jangan ada diskriminasi dalam akses masuk—wartawan butuh informasi untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi,” teriak Andy.

Keluhan serupa disampaikan Yan, jurnalis lokal yang menyebutkan bahwa dirinya pernah mengalami langsung sikap tidak kooperatif dari pihak keamanan dinas.

“Kami tahu Kepala Dinas ada di kantor, tapi petugas keamanan justru menyatakan sedang dinas luar. Ini bentuk kebohongan yang jelas-jelas menghalangi kerja jurnalis,” ujarnya.

Yan juga menyindir bahwa petugas keamanan digaji untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), bukan untuk menjadi tameng yang menyulitkan wartawan.

“Seolah-olah wartawan ini mau bikin onar. Padahal kami datang hanya untuk menjalankan tugas sesuai kode etik,” tegasnya.

Sikap pembatasan informasi ini turut disoroti oleh aktivis LSM, Febri RB. Ia menilai sistem pengamanan yang diterapkan di Kantor Bupati Musi Rawas menjadi preseden buruk bagi OPD lain, dan berpotensi memperlebar jurang antara pemerintah dan pers.

“Bupati seharusnya membuka akses informasi seluas-luasnya. Kalau memang pengamanan ingin diperketat, maka solusinya adalah menyediakan juru bicara resmi, bukan justru memblokade informasi,” ujarnya.

Febri menambahkan, jika alasan keamanan dijadikan dalih untuk menutup-nutupi informasi, maka itu sama saja dengan menghalangi peran kontrol sosial yang dijalankan oleh jurnalis.

“Profesi jurnalis itu mulia. Mereka bukan hanya menyampaikan berita, tapi juga menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan publik. Jangan sampai jurnalis dianggap musuh hanya karena mereka kritis,” pungkasnya.

Situasi ini menunjukkan adanya krisis keterbukaan informasi di lingkungan Pemkab Musi Rawas, yang patut menjadi perhatian serius seluruh pemangku kepentingan, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan pers.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA