Referensinews.id – Dana Hibah Pemerintah Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) yang bisa di cairkan tanpa Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) menjadi kajian bagi kalangan aktivis, LSM dan publik yang paham prosedur pencairan Dana Hibah.
Baca Modus Oknum Korupsi Hibah Muratara Tanpa NPHD
Pencairan tanpa NPHD adalah melabrak undang-undang dan diduga kuat pemberi dengan sengaja melakukan penyelewengan dan korupsi danah hibah untuk kantong pribadi.
Prosedur pengajuan hibah didahului dengan adanya permohonan dari pihak pemohon dengan mengajukan permintaan bantuan hibah kepada pemerintah dalam bentuk proposal. Apabila proposal tersebut disetujui, maka dibuat Naskah Perjanjian Hibah antara pemerintah dengan penerima hibah.
Hibah tersebut dapat dicairkan apabila naskah perjanjian hibah telah ditandatangani oleh kepala daerah (Bupati) atau Sekretaris Daerah (Sekda) dan pemohon bantuan.
Dikatakan Andy Lala, pada umumnya semua pelanggaran dan kesalahan itu baru di ketahui setelah adanya audit dari lembaga resmi pemerintah atau Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Sumsel.
Temuan BPK ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan serta kurang tegasnya di dalam pengawasan di dalam penggunaan dana hibah.
“Apa gunanya Inspektorat ? Apa gunanya APIP ? Pemkab Muratara menberi anggaran cukup besar kepada lembaga institusi ini untuk pengawasan interen dalam melakukan pencegahan penyalah gunaan APBD”, sebut Andy.
Berdasar audit BPK, Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara pada TA 2017 diketahui sampai dengan pemeriksaan berakhir tanggal 2 Mei 2018, terdapat 147 penerima hibah yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana hibah (NPHD) sebesar Rp3.581.622.000,00 sehingga menjadi tanda tanya publik.
“Sebagai aktivis anti korupsi, saya menduga ini modus yang dilakukan “oknum” untuk mencari ke untungan pribadi. Bisa jadi modus ini dilakukan secara berulang-ulang. Padahal sudah ada Peraturan Bupati Musi Rawas Utara Nomor 17 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait Danah Hibah dan Bansos. Adanya temuan BPK ini hendaknya APH dapat langsung melakukan penyelidikan”, Ujar Andy.
Lanjut Andy, Persoalan anggaran adalah persoalan kepentingan dan kebutuhan masyarakat Muratara secara keseluruhan. Pemberian dari pemerintah daerah ini tujuannya untuk melindungi terjadinya risiko sosial.
“Pemberian hibah tanpa NPHD berarti melabrak undang-undang dan diragukan penyalurannya”, kata Andy.
Namun dalam prakteknya banyak penyelewengan terhadap dana tersebut. Modus penyelewengan dana hibah dari waktu ke waktu tak berubah, penerima biasanya terafiliasi secara politik dengan kepala daerah, terjadi penggelembungan, penerima fiktif dimana sebagian kembali ke kantong si pemberi, pungkas Andi.
Untuk di ketahui Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
Penerima hibah bertanggung jawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaannya kepada Kepala Daerah berdasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Umum nya temuan hasil pemeriksaan secara uji petik atas pertanggungjawaban belanja hibah menurut audit BPK di sebutkan “Realisasi Belanja Hibah Tidak Sesuai Ketentuan, Penerima Hibah Terlambat, Belum Menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban, Tidak Tertif Pencatatan Tdak Tepat Sasaran dan lainnya”, kesemuanya ini merupakan bentuk pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Semestinya dengan adanya temuan BPK terkait Hibah Tanpa NPHD, APH dapat secara langsung menindak lanjuti temuan dengan melakukan penyelidikan, jika ada penyelewengan segera diproses ke meja hijau. (RN)