Lubuklinggau – Lagi-lagi publik dikejutkan dengan rincian anggaran yang tampak kecil secara nominal, tapi menyimpan tanda tanya besar secara substansi. Pada Tahun Anggaran 2024, Inspektorat Daerah Kota Lubuklinggau mengalokasikan Rp 67.800.000,00 hanya untuk menghasilkan empat dokumen administrasi pelaksanaan tugas ASN.
Dengan satuan output yang sederhana – “jumlah dokumen” – kegiatan ini tampaknya luput dari perhatian banyak pihak. Tapi justru di sinilah letak kerawanan dan potensi penyimpangan anggaran.
Secara rinci, kegiatan ini tercantum dalam sub kegiatan 6.01.01.2.02.0002, dengan belanja dialokasikan sebagai Belanja Pegawai. Anehnya, jenis belanja ini biasanya digunakan untuk gaji, tunjangan, atau honorarium. Maka muncul pertanyaan: apakah yang dimaksud dengan “dokumen administrasi pelaksanaan tugas ASN” itu sebenarnya?
Tanpa penjelasan rinci, dokumen tersebut bisa bermakna sangat luas – mulai dari daftar hadir, laporan perjalanan dinas, hingga notulensi kegiatan internal. Namun dalam praktik birokrasi, dokumen-dokumen semacam ini seringkali bersifat repetitif, formalistik, bahkan hanya sebagai pelengkap SPJ.
Jika benar 4 dokumen itu bersifat administratif rutin, maka angka Rp 67,8 juta untuk 4 dokumen menjadi sangat tidak proporsional. Artinya, satu dokumen administratif dihargai Rp 16,95 juta—sebuah nilai yang terlalu tinggi untuk sekadar dokumen internal birokrasi.
Potensi modus yang bisa terjadi:
Lebih mencurigakan lagi, kegiatan ini dibiayai dari Pendapatan Bagi Hasil sumber pendanaan yang idealnya diarahkan untuk peningkatan pelayanan publik, bukan sekadar administrasi internal.
Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah benar empat dokumen administratif layak dibayar hampir Rp 70 juta, di tengah tuntutan efisiensi, transparansi, dan reformasi birokrasi?
Publik patut waspada. Pola belanja seperti ini kerap terjadi dalam format kecil dan tersebar, namun jika dikompilasikan secara menyeluruh, bisa menyedot ratusan juta rupiah dari APBD hanya untuk produk birokrasi formal yang minim dampak ke masyarakat.
Sebagai institusi pengawas, Inspektorat Daerah semestinya menjadi garda depan efisiensi anggaran, bukan justru pengguna belanja administratif yang patut dipertanyakan. Jika lembaga pengawas pun menganggarkan dokumen administratif dengan harga premium, maka siapa lagi yang bisa dipercaya untuk menjamin keuangan daerah digunakan secara bijak?
Tidak ada komentar