Lubuklinggau — Satu kegiatan rutin namun menguras anggaran kembali mencuat dari laporan belanja Pemerintah Kota Lubuklinggau Tahun Anggaran 2024. Kali ini datang dari kegiatan “Penyediaan Gaji dan Tunjangan ASN” pada Inspektorat Daerah, dengan total anggaran mencapai Rp 5,5 miliar lebih hanya untuk membayar 48 aparatur sipil negara.
Jika dihitung secara kasar, maka setiap ASN menyerap anggaran sekitar Rp 9,6 juta per bulan, selama 12 bulan. Tentu angka ini terlihat wajar untuk standar gaji ASN, namun angka yang tertera menyimpan dua pertanyaan besar: apakah struktur kepegawaiannya proporsional terhadap beban kerja, dan apakah output lembaga benar-benar sebanding dengan belanjanya?
Dalam sistem anggaran publik, belanja pegawai memang menjadi komponen terbesar dan relatif stabil setiap tahunnya. Namun justru karena sifatnya yang rutin dan besar itulah, efisiensi dan transparansi penggunaannya sering luput dari sorotan. Publik hanya melihat “gaji ASN”, tanpa pernah menanyakan kinerja apa yang dihasilkan dari ASN tersebut.
Kegiatan ini dilaporkan dengan indikator sederhana: “Jumlah orang yang menerima gaji dan tunjangan ASN”, yaitu 48 orang. Namun, indikator tersebut bersifat kuantitatif absolut, tanpa mengukur apakah ke-48 ASN tersebut menghasilkan pengawasan berkualitas, efektivitas kerja, atau layanan pengawasan keuangan yang benar-benar berdampak pada penyelamatan keuangan daerah.
Yang lebih mencolok, total anggaran yang digunakan tercatat berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan sebagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Artinya, publik Kota Lubuklinggau secara langsung ikut menanggung belanja pegawai ini, baik melalui dana transfer dari pusat maupun kontribusi lokal. Maka, pertanyaan etis dan strategis pun muncul: apakah masyarakat benar-benar mendapatkan nilai balik dari Rp 5,5 miliar ini?
Ironi terbesar muncul ketika belanja pegawai besar justru tidak disertai peningkatan kualitas pengawasan dan layanan publik. Apakah laporan-laporan hasil pengawasan Inspektorat meningkat? Apakah rekomendasi atas dugaan penyimpangan anggaran lebih cepat ditindaklanjuti? Atau sebaliknya: kita hanya melihat pembengkakan struktur tanpa lompatan kinerja yang berarti?
Jika belanja sebesar ini hanya menjamin bahwa 48 ASN menerima haknya tanpa disertai kewajiban yang akuntabel, maka Kota Lubuklinggau tengah menyimpan bom waktu birokrasi—di mana pengeluaran publik hanya menjadi formalitas pemenuhan hak pegawai, tanpa dikaitkan dengan kinerja terukur dan efek jangka panjang terhadap tata kelola keuangan daerah.
Sudah waktunya kita menggeser fokus dari berapa yang dibayarkan, menjadi apa yang dihasilkan.
Tidak ada komentar