Sidang Mediasi Ditunda, Pemkab Muratara Dinilai Tak Paham Prosedur Hukum

waktu baca 2 menit
Kamis, 4 Jul 2019 07:35 17 referensi

Referensinews.id – Lubuklinggau. Sidang mediasi antara Direksi PT Ahba Mulia dan Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) kembali ditunda oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuklinggau. Alasannya: pihak tergugat tidak membawa surat kuasa resmi. Penundaan ini menuai kritik keras dari publik yang menilai Pemkab Muratara gagap dalam menghadapi proses hukum.

Kritik muncul lantaran perwakilan yang dikirim Bupati Muratara, yakni Kepala Dinas PUPR Erdius Lantang, ditolak kehadirannya oleh hakim mediasi karena tidak membawa surat kuasa khusus dari Bupati Syarif Hidayat.

“Saya tidak diterima karena tidak membawa surat kuasa dari Bupati,” ujar Erdius seusai sidang, Jumat (4/7).

Pernyataan itu memicu pertanyaan serius: apakah Pemkab Muratara benar-benar memahami mekanisme hukum acara?

Staf Ahli Bidang Hukum Pemkab Muratara, Efendi, mencoba meluruskan situasi. Ia menyebut bahwa kuasa resmi telah diberikan oleh Bupati kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN).

“Yang diberikan kuasa oleh bupati adalah JPN. Sudah ada SKK (Surat Kuasa Khusus), dan itu sah menurut hukum. Mediasi ini bukan gagal, tapi hanya ditunda. Biasanya hakim memberikan waktu satu minggu untuk lanjut,” jelas Efendi.

Efendi juga menegaskan, proses hukum tetap dihormati dan dijunjung tinggi oleh pihaknya. Mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi, kehadiran prinsipal memang wajib, kecuali jika berhalangan karena tugas negara. Dalam kasus ini, Bupati disebut sedang menjalankan tugas, dan wewenang telah didelegasikan ke JPN.

Namun, pengamat Hukum Tata Negara dari Palembang, Dr. Febrian, S.H., M.S., menyayangkan kekisruhan ini.

“Kalau benar seperti ini, jelas Bupati tidak paham tata cara beracara. Wajar kalau perwakilannya ditolak hakim. Beliau harus belajar lagi soal hukum acara,” kritik Febrian tegas.

Sementara itu, menurut Kasi Datun Kejari Lubuklinggau, A. Halim, penundaan bukan karena kegagalan, tapi karena perwakilan yang hadir tidak memiliki legalitas yang sah untuk mewakili Bupati.

“Yang dikuasakan adalah Sekda Muratara, bukan Kadis PU. Itu yang tertera dalam C75 (berkas kuasa),” jelas Halim.

Kisruh ini menunjukkan lemahnya koordinasi antarpejabat Pemkab Muratara dalam menangani persoalan hukum yang menyangkut instansi pemerintah. Penundaan mediasi bukan sekadar masalah administratif, tetapi cerminan lemahnya pemahaman terhadap prosedur hukum yang semestinya sudah menjadi kompetensi dasar pejabat publik.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA