Skandal Mark Up Rp5,2 Miliar: Bupati Muratara dan Kajari Lubuklinggau Saling Bantah

waktu baca 2 menit
Kamis, 15 Agu 2019 04:47 9 referensi

Referensi News

Muratara- Temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Selatan menguak adanya kelebihan bayar atau mark up senilai Rp5,2 miliar di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), akibat kekurangan volume fisik pekerjaan pada tahun anggaran 2018.

Namun, alih-alih mendapat kejelasan penanganan kasus ini, publik justru disuguhi drama saling bantah antara Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lubuklinggau, Zairida, SH, M.Hum, dan Bupati Musi Rawas Utara (Muratara), Syarif Hidayat.

Pernyataan Bupati Muratara yang menyebut temuan BPK tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Lubuklinggau untuk ditindaklanjuti, dibantah keras oleh Kajari Zairida.

“Pernyataan itu tidak benar. Hingga kini belum ada penyerahan apa pun terkait kasus tersebut ke pihak Kejaksaan,” tegas Zairida dalam keterangan pers, Kamis (15/8/2019).

Zairida hanya membenarkan bahwa ada Memorandum of Understanding (MoU) tahunan antara Kejari Lubuklinggau dan Pemkab Muratara terkait pendampingan di bidang perdata dan tata usaha negara, bukan soal penyerahan kasus.

Ia menjelaskan, dalam kegiatan terakhir di Muratara, pihak Kejari hanya memperpanjang MoU dan menerima permohonan dari bupati agar jika ada temuan di kemudian hari, bisa ditindaklanjuti dengan Surat Kuasa Khusus (SKK). “Saat ini, belum ada satu pun temuan yang diserahkan secara resmi,” ujarnya.

Zairida juga menyoroti ketidakakuratan informasi yang disampaikan ke publik. “Jangan asal bicara ke media tanpa dasar. Jangan buat berita hoaks. Konfirmasi itu penting,” ujarnya menegaskan kepada wartawan.

Saat ditanya ulang mengenai klaim Bupati Muratara bahwa temuan BPK telah diserahkan ke kejaksaan, Zairida hanya menjawab tegas, “Belum.”

Pernyataan saling bertolak belakang ini menuai sorotan tajam dari publik. Aktivis dan pengamat kebijakan publik, Taufik Gonda, turut angkat bicara.

“Jangan salahkan media yang mengutip, salahkan pejabat yang membuat pernyataan tidak konsisten. Logika publik jangan dibolak-balik,” kecam Taufik.

Kasus dugaan mark up proyek infrastruktur ini kini bukan hanya soal kerugian negara, tetapi juga soal kejujuran pejabat publik dan transparansi penegakan hukum.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA