Referensinews.id — Proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Musi Rawas kembali disorot. Sebanyak 41 paket pekerjaan tersebar di sejumlah desa dan kecamatan—meliputi perbaikan jalan, irigasi, kantor bupati, gedung asrama hafiz-hafizah, dan tiga proyek jembatan besar—diduga kuat berpotensi merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah. Kasus ini mencuat pada Senin (22/7).
Dugaan korupsi dalam proyek tersebut memperkuat anggapan publik bahwa praktik-praktik bermasalah ini bukan sekadar kelalaian, melainkan telah menjadi penyakit sistemik. Ironisnya, persoalan ini terus berulang setiap tahun, seperti tak tersentuh hukum atau bahkan dibiarkan tumbuh subur.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018 mencatat potensi kerugian negara sebesar Rp4,6 miliar hanya di Dinas PU Kabupaten Musi Rawas. Namun, rekomendasi BPK nyaris tak membuahkan hasil signifikan. Pemerintah daerah seolah menjadikan temuan tersebut sekadar formalitas tahunan tanpa tindakan korektif yang nyata.
Setiap tahun, Bupati Musi Rawas menyatakan telah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dan berjanji menindaklanjuti. Namun, implementasi di lapangan minim transparansi dan akuntabilitas. Penegakan hukum pun cenderung lamban.
Ketua Forum Peduli Pembangunan dan Pendidikan (FP3), Hafiez Noeh, menyoroti lemahnya tindak lanjut terhadap laporan BPK. Ia menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara akibat mark-up hanyalah bentuk sanksi administratif. Namun, unsur pidana tidak boleh diabaikan.
“Urusan BPK hanyalah menetapkan ganti rugi sebagai sanksi administratif. Tapi jika ada perbuatan pidana, penegak hukum wajib turun tangan dan memberikan sanksi pidana,” tegas Hafiez.
BPK secara tegas merekomendasikan pengembalian kelebihan pembayaran akibat pengurangan volume pekerjaan oleh sejumlah kontraktor, termasuk PT BJBM, PT WBK, CV AgMu, CV AlK, CV BR, CV EK, CV AdK, CV LS, dan CV AT di dua dinas, yakni PU BM dan PU PR.
Dari total kerugian sebesar Rp4 miliar lebih, baru sekitar Rp3 miliar yang telah disetor ke kas daerah. Sisanya, sekitar Rp1 miliar lebih, belum dikembalikan hingga kini.
“Sisa tersebut bisa dijerat pidana, bukan lagi sebatas administratif,” tutup Hafiez.
Tidak ada komentar