Temuan Mark-Up di Dinas PUPR Muratara Sebesar 5,2 Miliar Rupiah

waktu baca 3 menit
Senin, 12 Agu 2019 10:19 11 referensi

Referensinews.id – Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Musirawas Utara (Muratara) pada tahun 2018 telah menganggarkan belanja modal sebesar 162 miliar rupiah, dengan total realisasi mencapai 95,53 persen. Namun, dari realisasi tersebut, ditemukan adanya 10 paket pekerjaan yang mengalami mark-up atau kelebihan pembayaran sebesar 5,2 miliar rupiah, yang terungkap pada Senin (12/8/2019).

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan menyatakan bahwa Dinas PUPR Muratara tidak menjalankan kegiatan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sepuluh paket pekerjaan dengan total dana sekitar 72 miliar rupiah, meskipun sesuai kontrak telah dibayar 100 persen, namun hasil audit dokumen dan fisik menunjukkan adanya kekurangan volume dan kesalahan penghitungan harga satuan pada beberapa item pekerjaan, yang berujung pada kelebihan pembayaran sebesar 5,2 miliar rupiah.

BPK juga menemukan bahwa permasalahan ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan pengendalian oleh Kepala Dinas PUPR Muratara dalam pelaksanaan pekerjaan fisik, serta ketidaktepatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Terkait temuan tersebut, Kepala Daerah atau Bupati Muratara menyatakan sepakat dengan hasil pemeriksaan BPK dan berjanji untuk segera menindaklanjuti temuan ini.

Kritikan Terhadap Pengawasan Intern
Taupik Gonda, seorang pengkritik tajam, mengungkapkan kekecewaannya atas temuan mark-up senilai 5,2 miliar rupiah di Dinas PUPR Muratara. Ia mempertanyakan kinerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Muratara, yang seharusnya bertugas melakukan pengawasan intern untuk mencegah praktek kecurangan. “APIP sepertinya tidak bisa mendeteksi modus-modus dan praktek kecurangan yang biasa dilakukan oleh oknum pejabat dan pihak rekanan yang nakal,” ujar Taupik.

Menurutnya, APIP seolah menjadi alat stempel kekuasaan yang “ompong giginya” dalam menjalankan fungsi pengawasan. Ia menegaskan bahwa kelebihan pembayaran sebesar 5,2 miliar rupiah merupakan bentuk kerugian negara akibat fraud dan mencatatnya sebagai kasus korupsi.

Potensi Kerugian Negara dan Penerimaan Daerah
Taupik juga menambahkan, kelebihan pembayaran ini dapat berakibat pada kurangnya penerimaan daerah karena dana yang seharusnya menjadi hak negara atau daerah tidak disetorkan ke kas daerah. Hal ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Kerugian negara terjadi akibat perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, baik dilakukan oleh perorangan, korporasi, atau pejabat negara,” tegasnya. Pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa kelebihan bayar ini harus segera dikembalikan ke kas daerah. “Penyetoran atas potensi kerugian negara akibat mark-up harus segera dilaksanakan.”

Taupik menegaskan bahwa BPK hanya berperan dalam menetapkan ganti rugi sebagai sanksi administrasi, sementara penegak hukum yang harus mengungkap dan memberikan sanksi pidana atas perbuatan yang melanggar hukum.

Seruan untuk Pengawasan Masyarakat
Di akhir komentarnya, Taupik mengajak masyarakat untuk lebih jeli dalam mengontrol kegiatan pemerintah. Ia menekankan bahwa kritik yang konstruktif sangat diperlukan untuk mendorong aparatur pemerintah agar berbuat lebih baik demi kesejahteraan rakyat. “Temuan ini harus dilaporkan sebagai pengingat dan memberikan efek jera bagi oknum pejabat dan pihak rekanan yang nakal,” sindirnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA