Referensinews
Musi Rawas — Skandal penjualan ilegal sepuluh ekor sapi milik Dinas Pertanian dan Peternakan (Distannak) Kabupaten Musi Rawas oleh pihak penggaduh kembali mencuat ke publik. Penjualan tersebut dilakukan tanpa izin dan tidak sesuai perjanjian, yang jelas merupakan tindak pidana penjualan aset daerah secara ilegal.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 2019, namun hingga kini belum ada tindakan hukum tegas terhadap pelakunya. Lebih parah lagi, sejumlah pejabat terkait justru saling melempar tanggung jawab, alih-alih menyelesaikan persoalan secara transparan.
Plt Kadistanak, Tohirin, menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum perubahan nama dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Namun, pernyataan ini tak menyelesaikan masalah. Bambang, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Perikanan, berdalih bahwa temuan tersebut tidak terjadi di masa jabatannya.
“Kalau mau lebih detail, tanya langsung ke Inspektorat,” elaknya.
Sementara itu, Kabid Peternakan, Marzuki, secara terbuka mengakui bahwa sepuluh ekor sapi memang telah dijual secara ilegal oleh penggaduh. Bahkan, penggaduh disebutkan siap mengembalikan kerugian, namun belum ada laporan resmi yang masuk ke bidang peternakan.
Kepala Inspektorat, Alex Akbar, menyangkal adanya temuan resmi terkait hilangnya sepuluh ekor sapi tersebut pada tahun 2019.
“Belum ada temuan yang menyatakan itu. Tolong difoto atau disampaikan temuan yang dimaksud,” ujarnya, seraya membantah laporan yang menyebut adanya audit bersama BPK dan Kabid Peternakan.
Ironisnya, staf di Irban Inspektorat, yang semestinya menangani kasus pengaduan, juga menyatakan bahwa belum ada laporan yang masuk terkait penjualan sapi ilegal ini. Lebih buruk lagi, staf menyebut bahwa saat ini Irban sedang dinas luar.
Febri RB, aktivis LSM, menyebut penjualan ini sebagai tindak pidana berat karena menyangkut penjualan aset daerah oleh pihak yang tidak berwenang.
“Penggaduh bukan pejabat negara. Mereka hanya ditugaskan memelihara, bukan menjual. Ini jelas pelanggaran hukum,” tegasnya.
Ia mendesak Polres Musi Rawas untuk segera melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu laporan resmi. Menurutnya, pemberitaan media sudah bisa dijadikan dasar penyidikan karena terdapat hasil audit LHP BPK Sumsel yang mengindikasikan adanya penyimpangan.
“Bukti sudah kuat. Ini masuk ranah pidana. Tidak perlu tunggu laporan masyarakat lagi,” ujarnya.
Kasus ini memunculkan dugaan adanya keterlibatan pihak lain dalam penjualan sapi tersebut. Menurut Febri, jika yang hilang hanya satu atau dua ekor, mungkin masih bisa dianggap kelalaian. Tapi sepuluh ekor sapi yang lenyap tanpa jejak jelas menunjukkan lemahnya pengawasan atau bahkan adanya konspirasi.
“Kalau sampai 10 sapi, ini sudah sistemik. Bukan semata kelalaian,” pungkasnya.
Kasus ini memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di tubuh pemerintah daerah. Jika tidak ditindak secara tegas, bukan tak mungkin praktik serupa akan terus terulang. Publik kini menunggu keberanian aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas, menyeret pelaku ke meja hijau, dan membersihkan birokrasi dari tangan-tangan kotor yang bermain di balik nama jabatan.
Tidak ada komentar